header
Publikasi

Studi Banding Geothermal

Jul, 3 2025
By: Rangga Prakoso
In: Media Coverage
header

Seeing is believing...Kata-kata bisa membujuk, tapi keyakinan tumbuh dari pengamatan. Pepatah ini sepertinya cocok menggambarkan polemik pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Masyarakat di Flores, Nusa Tenggara Timur dan Muara Laboh, Solok Selatan, Sumatera Barat merupakan dua wajah berbeda dalam memandang geotermal. Suara resistensi nyaring terdengar di kawasan yang ditetapkan sebagai Geothermal Island itu dalam beberapa bulan terakhir. Banyak warga yang merasa pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak membawa perubahan positif bagi kehidupan mereka. Sebagian masyarakat merasa kecewa dan terabaikan. Mereka mempertanyakan, untuk siapa sesungguhnya pembangunan PLTP dan manfaatnya bagi warga?

 

Sikap ini bukanlah fenomena baru dalam dunia geotermal Indonesia. Sekitar dua dekade lalu, suara serupa juga menggema di Muara Laboh ketika PT Supreme Energy mulai mengembangkan potensi geotermal. Kala itu, masyarakat diliputi rasa cemas kegiatan pengeboran PLTP akan membawa dampak buruk. Salah satu kekhawatiran yang menyeruak yakni terjadinya semburan lumpur seperti di Sidoarjo, Jawa Timur.

 

Namun Supramu Santosa, Founder & Chairman Supreme Energy, memiliki kiat tersendiri dalam mengurai keresahan masyarakat. “Kita membuat masyarakat mengerti, memahami geotermal itu. Sebelum kita mulai melakukan eksplorasi di sini [Muara Laboh] kita dekati masyarakat, tokohtokoh, kita pilih 50 orang dan kita ajak jalan-jalan ke PLTP Wayang Windu dan Kamojang. Mereka melihat bagaimana geotermal terhadap lingkungan,” kata Supramu ketika ditemui Investor Daily di PLTP Muara Laboh, beberapa waktu lalu.

 

Membangun kepercayaan masyarakat menjadi kunci awal Supreme Energy menggarap potensi panas bumi. Di Wayang Windu dan Kamojang, masyarakat bisa memperhatikan secara seksama bagaimana operasional PLTP berkolaborasi dengan lingkungan yang terjaga. Langkah tersebut membuahkan hasil. Warga yang semula ragu, mulai membuka diri setelah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa teknologi geotermal
bisa dioperasikan tanpa mengorbankan alam. 

 

Kepercayaan yang tumbuh kemudian diperkuat dengan pemberdayaan masyarakat. Supreme Energy tidak sekadar hadir sebagai investor, tetapi juga sebagai mitra pembangunan antara lain dengan menyerap tenaga kerja lokal. Isu skill tenaga kerja lokal yang belum berkompeten kerap menjadi pemicu timbulnya resistensi. Persoalan ini dijawab oleh pelopor geotermal swasta pertama di Indonesia itu dengan memberi pembekalan. Para rekrutmen lokal tersebut mendapat pelatihan di Jakarta dan Cepu maupun kesempatan magang di beberapa pengembang PLTP. Mereka disiapkan secara teknis dan diperkaya dengan pengalaman lantaran bakal mengoperasikan PLTP Muara Laboh. Penduduk setempat tidak hanya menjadi penonton tapi juga turut berkontribusi dalam transisi energi.


“Semua operator di sini tenaga lokal. Insinyur kami dari perguruan tinggi Sumatera dan tidak ada pekerja asing disini,” ungkap Supramu. PLTP Muara Laboh berada sekitar 170 kilometer dari Kota Padang yang ditempuh via darat sekitar 5 jam. Pembangkit ini beroperasi sejak 2019 dengan kapasitas 86 megawatt (MW). Proyek dimulai dengan studi awal yang berlangsung selama tiga tahun sejak 2008. Setelah tahap studi selesai, kegiatan eksplorasi dilakukan selama dua tahun dan tuntas pada 2013. Proyek kemudian memasuki fase konstruksi yang berlangsung dari 2017.

 

Supreme Energy kini menatap ke depan. Dua unit tambahan telah masuk dalam rencana ekspansi. Unit kedua, dengan kapasitas sekitar 80 MW, ditargetkan akan mulai beroperasi pada akhir 2027. Ini akan menggandakan pasokan listrik dari Muara Laboh sekaligus memperbesar kontribusinya dalam bauran energi Sumatera. Sementara unit ketiga sebesar 60 MW, telah dijadwalkan masuk dalam fase operasional pada 2033 yang menjadi bagian dari rencana jangka panjang menuju sistem kelistrikan nasional yang lebih hijau dan tangguh.

 

Supramu membuka pintu bagi siapa saja yang masih menyimpan keraguan terhadap pengembangan geotermal. Kunjungan Investor Daily ke lokasi ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Setiap pagi, kawasan ini menyuguhkan nyanyian khas Siamang, primata arboreal, yang bersahut-sahutan dari balik rimbunnya hutan tropis. Suara mereka menembus kesunyian pagi di kaki Bukit Barisan, berpadu dengan semilir udara sejuk dan sinar mentari yang perlahan menembus dedaunan. (rangga prakoso)